PESANTREN IBNU SYAM – Kata puasa berasal dari kata as-shiyaam atau as-shaum, artinya al-imsak (menahan). Yaitu menahan dari makan dan minum, menahan mata dari hal yang tidak baik, menahan kaki dari langkah yang tidak baik, menahan hati dari perasaan yang tidak baik, serta menahan perut dari makanan yang tidak baik.
Tingkatan Puasa
Imam Al-Ghozali membagi puasa menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Puasa Orang Awam
Hanya menahan dari makan, minum, dan berhubungan badan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش
Artinya: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga,” (HR An-Nasa’i).
Jika mata, telinga, dan lisannya tidak dijaga dari hal yang tidak baik. Maka ia hanya menggugurkan kewajiban, tidak mendapatkan pahala dari puasanya.
Oleh karena itu, hendaknya seseorang berusaha naik level, ke puasa khusus, yaitu tidak hanya menahan makan dan minum, tapi juga menahan seluruh anggota tubuh agar terhindar dari maksiat.
2. Puasa Orang Khusus
Ciri puasa khusus yaitu ia merasa gelisah, memikirkan puasanya diterima atau tidak.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan, jika seseorang ingin mencapai puasa khusus, hendaknya ia tidak kenyang (berlebihan) saat berbuka puasa dan tidak banyak tidur. Orang yang saat berbuka puasa banyak makan dan banyak tidur, ia tidak akan melihat keagungan lailatul qadar.
3. Puasa Khusus untuk Orang Khusus (Puasanya Para Nabi)
Setiap hari dan malam harus Allah subhanahu wa ta’ala yang ada di pikirannya, tidak boleh mikirin perkara dunia. Saat dia puasa, kemudian mikirin nanti buka puasanya makan apa. Maka puasanya batal, dapat dosa besar, karena dia tidak yakin dengan rezeki yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan.
Niat mencapai tingkatan ini harus benar untuk mendapatkan ridho Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
النَّظْرَةُ سَهُمْ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ، فَمَنْ تَرَكَهَا خَوْفًا مِنَ اللَّهُ تَعَالَى، أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيْمَانًا يَجِدُ حَلَاوَتَهُ فِي
Artinya: “Pandangan adalah panah dari panah-panah Iblis, siapa yang meninggalkannya (menjaga pandangannya) karena takut kepada Allah Ta’ala, Allah akan memberinya keimanan yang akan dirasakannya manis dan indah dalam hatinya,” (HR Ahmad dan Ath-Thabrani).
Tujuan Puasa
Kenapa harus puasa, agar hati kita merasakan laparnya para fakir miskin. Dengan puasa, mendidik kita lebih peka lagi dengan sekitar dan menghilangkan sifat kikir.
Rahasia Menjumpai Lailatul Qadar
Kenapa orang dapat melihat keagungan lailatul qadar (tersingkap kerajaan langit)? karena dia memperkecil jalannya setan. Dengan lapar ini salah satu cara mempersempit jalan setan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
Artinya: “Sesungguhnya setan itu dapat berjalan pada tubuh anak cucu Adam melalui aliran darah,” (HR Al-Bukhari).
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang siangnya puasa (mempersempit jalan setan), kemudian malamnya makan banyak (membuka lebar-lebar jalan setan), maka ini akan sulit mendapatkan lailatul qadar.
Bukan tidak boleh makan, akan tetapi makan dengan secukupnya.
Ketentuan Niat Puasa
Niat puasa Ramadhan harus di malam hari sebelum waktu fajar shodiq (waktu subuh). Begitupun puasa wajib lainnya, seperti qadha, nadzar, atau kafarat, harus niat di malam harinya.
Kalau puasa sunnah, boleh niat di pagi hari sebelum dzuhur, selama dia belum makan dan minum.
Niat tempatnya adalah di hati. Jadi bukan hanya dilafadzkan saja. Kalau hanya dilafadzkan saja tanpa niat dalam hati, maka tidak sah puasanya. Lisan itu hanya untuk membantu agar hati konsentrasi dengan niat yang dimaksud.
Dalam madzhab Syafi’i ketentuan niat puasa Ramadhan ada tiga yaitu:
1. Niat di hati.
2. Harus jelas niatnya untuk puasa Ramadhan.
3. Niat setiap malam, tidak boleh niat untuk satu bulan penuh.
Bagi yang khawatir lupa niat di malam harinya, boleh niat satu bulan penuh dengan taklid (mengikuti pendapat) Imam Maliki. Tapi diupayakan setiap malamya juga niat.
Itu jika madzhab Maliki, jika madzhab Syafi’i tidak boleh niat yang satu bulan penuh, tapi harus diulang-ulang setiap malamnya.
Memperhatikan Waktu Buka dan Sahur
Kalau seseorang sudah berbuka puasa, padahal satu menit lagi ke waktu magrib, maka batal puasanya. Oleh karenanya, berbuka jangan ambil adzan yang tercepat, lebih satu sampai dua menit lebih baik, daripada lebih cepat padahal belum waktunya.
|| BACA JUGA : Umat Islam Disunnahkan Puasa Tarwiyah & Arafah, Berikut Niatnya
Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Puasa
1. Makan dan Minum Secara Sengaja
Jika tidak sengaja (lupa atau dipaksa), meski makan semangkok, tidak batal puasanya. Misalnya juga, seseorang sedang puasa, terus dia tidur, karena tidak bangun-bangun, disiramlah, masuk air ke dalam hidungnya, maka tidak batal puasanya, karena itu dipaksa.
Sisa makanan yang bercampur dengan ludah, kemudian dia tidak bisa membedakan antara sisa makanan dan ludah, lalu ketelan, maka tidak batal puasanya.
Jika sisa makanan itu masih bisa dibedakan dengan ludah, meskipun bercampur dengan ludah, dan sebenarnya bisa dikeluarkan sisa makanan tersebut, tapi ditelan, maka batal puasanya.
Menelan ludah itu tidak membatalkan puasa. Kecuali ludah itu bercampur dengan darah, atau ludah itu sudah keluar, tapi dimasukkan lagi ke dalam mulut, dan ditelan, maka batal puasanya. Jika ludah itu masih di dalam mulut dan ditelan, itu tidak membatalkan puasa.
2. Berhubungan Badan di Siang Hari
Jika sedang berpuasa, suami istri sengaja berhubungan badan, maka batal puasanya, kecuali lupa (tidak sengaja). Jika sengaja dilakukan, bukan cuma wajib diqadha puasanya, tapi juga harus bayar kafarat.
Kafaratnya membebaskan budak, jika tidak ada, harus berpuasa selama dua bulan (enam puluh hari) secara berturut-turut.
3. Masuknya Benda yang Terlihat ke Dalam Lubang yang Terbuka
Kalau sakit mata, ditetesi air obat, walaupun terasa pahit di tenggorokan, atau memasukkan obat ke gigi, selama tidak tertelan maka itu boleh, tidak membatalkan puasanya.
Disuntik, diinfus, tidak batal puasanya, karena masuknya bukan lewat lubang yang terbuka. Meski perkara infus ini berbeda pendapat, tapi pendapat mu’tamad (paling kuat) dalam madzhab Syafi’i itu tidak batal.
Sama halnya mandi di siang hari, nyerap airnya ke tubuh lewat kulit, itu tidak membatalkan puasa. Karena masuk airnya bukan lewat mulut atau telinga, tapi lewat kulit.
Saat berwudhu, bagian kumur-kumur atau masukkan air ke hidung, selama tidak berlebihan, maka tidak batal puasanya. Ukuran berlebihannya itu jika melebihi tiga kali memasukkan air ke dalam mulut atau hidung. Jika yang berlebihan ini kemudian ketelan airnya, maka batal puasanya.
Begitupun saat mandi, jika berlebihan, kemudian masuk air lewat telinga atau mulut (tidak sengaja), maka batal puasanya. Kecuali jika hanya mandi sekadarnya saja, kalau ada masuk air, itu tidak membatalkan puasa.
4. Istimna
Istimna (mengeluarkan mani dengan sengaja), batal puasanya. Kecuali tidak sengaja, seperti mimpi basah, maka tidak batal puasanya.
Lanjut part 2
di sini.
Wallohu A’lamOleh Dewi Anggraeni / Tim Media Pesantren Ibnu Syam
Editor Muhammad Isra Rafid
Leave a Comment