PESANTREN IBNU SYAM – Hari Raya Idul Adha ialah hari diberikannya karunia oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu para malaikat berada di pinggir-pinggir jalan. Selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala akan mengatakan kepada hamba-Nya, pulanglah kalian dengan dosa-dosa kalian yang telah diampuni, rahmat Allah subhanahu wa ta’ala akan diberikan kepada kita semua.
Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
Artinya: “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya,” (HR Tirmidzi).
Allah subhanahu wa ta’ala menguji Nabi Ibrahim alaihis salam dengan ujian yang betul-betul berat. Sesuai penjelasan dalam Alquran surat As-Saffat ayat 106:
انَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ
Artinya: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”
Dijelaskan dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, saat itu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang sudah berumur 86 tahun mengharapkan anak keturunan, akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala memberikan anak keturunan. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala memberikan perintah untuk menyembelih anak satu-satunya tersebut.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Alquran surat As-Saffat ayat 102 yang berbunyi:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: ”Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar’.”
Di sini diajarkan kepada kita metode mendidik anak dengan cara mendiskusikan suatu hal kepada anak. Nabi Ismail ‘alaihis salam tahu dan meyakinkan bahwa mimpi ayahnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pasti atas perintah Allah subhanahu wa ta’ala, mimpinya adalah wahyu dan pasti nyata. Dalam umurnya Nabi Ismail ‘alaihis salam yang masih kecil, ia menjawab dengan penuh akidah yang luar biasa.
Itu tidak akan terjadi kecuali anak ini hasil didikan kedua orang tua yang salih dan salihah, yakni Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan Siti Hajar yang keimanannya sangat kuat.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mengantarkan Siti Hajar dan Nabi Ismail ‘alaihis salam yang masih menyusui tersebut ke Mekkah di dekat bukit Shafa dan Marwah. Di padang pasir yang tandus dan gersang tidak ada keluarga, pepohonan, air, sumber makanan, dan penghidupan di sana. Selanjutnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam meninggalkan Siti Hajar dan Nabi Ismail ‘alaihis salam.
Kemudian Siti Hajar meraung menangis memanggil suaminya yang pergi meninggalkannya dengan mengatakan, ’’suamiku, apakah engkau tega meninggalkan kami di sini? Sementara di sini tidak ada keluarga, air, sanak saudara? “ Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak bergeming dan tidak mempedulikan panggilan istrinya sedikitpun.
Sampai ditarik badan dan bajunya, kemudian berkata lagi kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, “ Suamiku, jangan tinggalkan kami di sini.“
Lalu Siti Hajar mengatakan, “Apakah Allah yang memerintahkanmu meninggalkan kami di sini?“
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menjawab, “ ya, ini adalah perintah Allah.“
Lalu Siti Hajar dengan tegas dan dengan penuh keimanan menjawab, “ Kalau memang ini perintah Allah, maka Allah tidak akan menyiakan kami.”
Kata-kata ini yang keluar dari lisan Siti Hajar, wanita salihah yang melahirkan seorang anak yang salih, mendidiknya dengan penuh keimanan dan rasa takwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Tibalah hari Nabi Ismail ‘alaihis salam akan disembelih. Saat telah sampai di Mina tempat Nabi Ismail ‘alaihis salam akan disembelih, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam digoda oleh tipu daya setan.
Setan berkata kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,”Wahai Ibrahim! Anakmu satu-satunya yang sedang lucu-lucunya, mau kamu sembelih hanya karena mimpi?” Namun, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam terus melanjutkan perjalanannya, ia tak tergoda dengan tipu daya setan tersebut.
Saat setan menggodanya lagi, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun melemparnya dengan tujuh batu, sehingga peristiwa itulah yang menjadi sejarah melempar jumroh Aqabah yang dilakukan orang-orang yang berhaji di Mina. Hingga saat ini dalam urutan melempar jumroh ula atau sughro, wustho, dan kubro.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam melempar setan hingga hangus dan hilang. Saat penyembelihan akan segera berlangsung, dikatakan dalam Alquran surat As-Saffat ayat 103:
فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ
Artinya: “Ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) meletakkan pelipis anaknya di atas gundukan (untuk melaksanakan perintah Allah).”
Maksudnya adalah bagian kepala Nabi Ismail ‘alaihis salam dibalikkan, maka bagian wajah Nabi Ismail ‘alaihis salam yang dihadapkan ke bawah tanah. Itu bermaksud agar hati Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak tergoda dengan anak semata wayangnya yang akan disembelih tersebut. Kemudian, agar ia tidak merasa kasihan dan tidak gemetar hatinya saat Nabi Ismail ‘alaihis salam akan disembelih.
Begitu besar rasa sayang seorang ayah pada anaknya ini terjadi saat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam hendak menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk menyembelih putra semata wayangnya.
Disebutkan dalam tafsir, seperti ada tembaga yang melekat di kepala Nabi Ismail ‘alaihis salam, sehingga membuat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sulit untuk menyembelih. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya surat As-Saffat ayat 104-105:
وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُۙ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَاۚ اِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Kami memanggil dia, ‘Wahai Ibrahim, sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,”Wahai Ibrahim! kamu telah lolos dalam ujian ini. Aku bukan bermaksud menyuruh engkau untuk menyembelih putramu, tapi Aku ingin menguji keimananmu, dan engkau lulus ujianmu ini dengan sebaik baiknya.”
Dalam Alquran surat As-Saffat ayat 107, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
Artinya: “Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar.”
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala gantikan Nabi Ismail ‘alaihis salam dengan seekor kambing gibas besar yang dibawakan dari surga. Dalam satu riwayat kambing itu telah diasuh di surga selama empat puluh tahun. Selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk menyembelih hewan kambing atau domba tersebut.
Akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala mengabadikan syariat penyembelihan ini di hari raya kurban, yakni hari raya Idul Adha yang jatuh pada tanggal 6 Juni tahun 2025, bertepatan pada 10 Zulhijah 1446 Hijriah. Lanjut part 2 di sini.
Wallohu A’lam
Oleh Dewi Anggraeni / Tim Media Pesantren Ibnu Syam
Editor : Muhammad Isra Rafid, S.H
Leave a Comment