
Dr. Slamet menegaskan, “tiga hal yang membuat mayoritas orang itu sukses, pertama pengetahuan, yang kedua keterampilan, yang ketiga sikap mental.”
Pengetahuan dan keterampilan memang penting, namun keduanya hanya menyumbang sebagian kecil terhadap kesuksesan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 85% keberhasilan seseorang ditentukan oleh sikap mentalnya, sementara pengetahuan dan keterampilan hanya berperan sekitar 15%.
Artinya, seseorang dengan ilmu tinggi sekalipun tidak akan mencapai hasil maksimal bila tidak memiliki mental tangguh, disiplin, dan pantang menyerah. Di sinilah peran pesantren menjadi sangat penting, tempat pembentukan karakter dan mental juara.
Dalam kehidupan sehari-hari, ada tiga tipe mental yang umum ditemukan di kalangan pelajar maupun santri:
Mental Pemenang (Sābiqūn bil Khairāt)
Mereka yang memiliki semangat tinggi, selalu ingin menjadi yang terbaik, berbuat maksimal, dan tidak mudah menyerah. Santri dengan mental ini akan terus berusaha hingga mencapai hasil terbaik di bidang apa pun.
Mental Minimalis (Muqtashid)
Sikap “yang penting ikut”, “asal lulus”, atau “tidak mau repot”. Mereka tidak punya target besar dan mudah puas dengan hasil seadanya. Mental ini seringkali membuat seseorang sulit berkembang.
Mental The Loser (Zhālimun Linafsih)
Tipe yang mudah menyalahkan keadaan, merasa menjadi korban, dan enggan introspeksi diri. Sikap ini paling berbahaya karena menjauhkan seseorang dari perubahan dan kemajuan.
Islam dengan tegas mendorong umatnya untuk memiliki mental pemenang, menjadi pribadi yang berjuang maksimal, berorientasi pada kebaikan, dan tidak menyerah dalam menghadapi ujian.
Pesantren bukan sekadar tempat menghafal, belajar, dan beribadah. Ia adalah laboratorium kehidupan yang melatih santri agar memiliki daya juang, disiplin, kemandirian, dan kesabaran.
Di Pesantren Ibnu Syam, pembentukan karakter santri diarahkan pada tujuh karakter insan Ibnu Syam, yaitu:
Berakhlakul karimah.
Hafal Al-Qur’an 30 juz dengan tajwid yang benar.
Hafal hadis-hadis pilihan.
Mahir membaca kitab kuning.
Mahir bahasa Arab dan Inggris.
Memimpin kegiatan sosial dan keagamaan.
Berwawasan global.
Ketujuh karakter ini menjadi syarat kelulusan, bukan sekadar prestasi tambahan. Artinya, seorang santri belum dianggap selesai belajar di Pesantren Ibnu Syam bila belum terbentuk sebagai tujuh karakter tersebut.
Kesuksesan santri juga tidak lepas dari disiplin dan ridho orang tua serta guru. Sebelum memulai langkah besar, santri diingatkan untuk meminta maaf dan doa restu kepada orang tua. Sebab, ridha Allah subhanahu wa ta’ala bergantung pada ridho orang tua, dan keberhasilan sejati lahir dari restu mereka.
Karena sejatinya, keberkahan ilmu bukan hanya dari banyaknya hafalan, tetapi dari keikhlasan, adab, dan doa restu guru dan orang tua.
Di sela kegiatan belajar yang padat, para santri juga didorong untuk terus memperbaiki diri, menjaga niat, serta menggunakan waktu libur untuk membahagiakan orang tua dan memperkuat ibadah.
Ustadzah Nabilah memberikan pesan, “kesungguhan kalian di pondok, belajar, menghafal, itu harus dicerminkan di rumah, ya, karena akan terlihat berhasilnya kalian itu sebenernya bukan ketika kalian meraih berprestasi di pondok, bukan, tapi ketika kalian pulang ke rumah apakah masih istiqomah atau tidak.”
Setiap santri memiliki gaya belajar yang berbeda. Ada yang cepat memahami lewat pendengaran (auditori), ada yang kuat melalui penglihatan (visual), dan ada pula yang belajar dengan gerak dan praktik langsung (kinestetik).
Pesantren yang memahami perbedaan ini akan mampu mengoptimalkan proses belajar santri, terutama dalam program hafalan Al-Qur’an. Dengan metode yang sesuai gaya belajar masing-masing, hafalan akan lebih cepat, menyenangkan, dan melekat kuat.
Santri sejati tidak mengenal kata “tidak bisa”. Yang ada hanyalah “tidak mau berusaha.” Selama memiliki mental juara, disiplin, dan semangat untuk memperbaiki diri, setiap santri berpeluang menjadipenghafal Al-Qur’an yang fasih dan rasikh serta sukses dunia akhirat.
Ingatlah, mental yang kuat akan membawa ilmu menjadi cahaya, dan akhlak yang baik akan membawa ilmu itu menuju keberkahan.
Wallohu A’lam
Oleh Dewi Anggraeni / Tim Media Pesantren Ibnu Syam
Editor Ustadz Muhammad Isra Rafid, S.H
Leave a Comment